SLC BANTEN

Senin, 17 Februari 2020

Sonic Lebak Community

Menelisik Indahnya Kota Bandung dari Mesjid Agung Bandung

Bandung, Sebelum bermetamorfosis hingga menjadi seperti sekarang, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, masjid ini lebih dikenal sebagai Bale Nyungcung. Nama ini disandangkan, karena saat itu atap masjid berbentuk lancip seperti gunungan, atau yang dalam bahasa Sunda disebut nyungcung. Pembangunan Bale Nyungcung yang menjadi ciri khas Masjid Agung diawali tahun 1850. Saat itu, Bupati R.A. Wiranatakusumah IV atau Dalem Bintang memprakarsai pembangunan masjid dengan menggunakan batu bata dan atap genting. Kemudian, sekeliling masjid dipagari tembok setinggi kurang lebih dua meter, bermotif sisik ikan yang merupakan ornamen khas Priangan. Penampilan masjid lalu berubah dengan adanya atap tumpang susun tiga, yang disebut Bale Nyungcung. Bentuk bangunan ini tetap dipertahankan selama 105 tahun. Pembangunan yang dilakukan tahun 1930 hanya bersifat melengkapi bangunan yang sudah ada. Atas rancangan arsitek Macline Pont, Masjid Agung dilengkapi dengan serambi (pendopo) dan sepasang menara pendek beratap tumpang di kiri dan kanan bangunan.

Dari masa ke masa Masjid Agung terus dibenahi. Perombakan besar-besaran yang menghilangkan “Bale Nyungcung” terjadi pada tahun 1955. Tak ada lagi atap tumpang susun tiga. Saat itu dibangun kubah bawang bergaya Timur Tengah. Kedua menara yang didesain Pont dibongkar. Dilakukan juga perluasan serambi, lalu ruang panjang di kiri dan kanan masjid disatukan dengan bangunan induk. Menara tunggal didirikan di halaman depan masjid sebelah selatan. Pada era kepemimpinan Gubernur Solihin G.P., tahun 1971 pembangunan besar-besaran dimulai lagi. Pada tahap pertama, dibangun menara dan jembatan yang menghubungkan masjid dengan Alun-Alun Bandung. Pada 19 Juni 1972 dilakukan peletakan batu pertama oleh Gubernur Jabar dan Pangdam VI Siliwangi.

Namun, hasil pemugaran ini dinilai belum memuaskan. Apalagi pada era 1980-an, Masjid Agung terkesan terisolasi, karena invasi bangunan pertokoan di sekelilingnya. Maka, tahun 2001, Masjid Agung kembali dirombak besar-besaran. Lantai masjid diperluas dengan bangunan baru. Atap joglo diubah menjadi kubah beton berdiameter 30 meter, bangunan baru dihiasi dua kubah berdiameter 25 meter dan dibangun pula dua menara kembar dengan tinggi 99 meter yang dihitung dari fondasi. Ketinggian menara ini mencerminkan 99 nama-nama Allah (Asmaul Husna).

Sejak dibangun kembali, aktivitas di Masjid Agung semakin semarak. Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid ini juga menjadi objek wisata, terutama dengan adanya menara kembar. Cukup dengan membayar retribusi, pada hari Minggu atau hari libur lainnya pengunjung dapat menikmati keindahan Kota Bandung dari atas menara. Tepat pada lantai 19, terdapat jendela kaca yang mengelilingi ruangan berbentuk lingkaran. Ruangan ini adalah tempat pengunjung menikmati panorama. Jika ingin mengetahui, seperti apa bentuk Bale Nyungcung yang diriwayatkan dalam sejarah masjid, tengoklah bagian atap menara. Lebih afdal jika hal ini dilakukan di lantai 19. Perhatikan dengan seksama atap dari kembaran menara yang sedang dikunjungi, karena di situlah ciri khas Masjid Agung, yakni atap yang nyungcung direkontruksi.
( Sumber : Pikiran Rakyat)

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »